Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Thursday, May 31, 2012

Kerja, Makan dan Hidup / Work, Eat and Live

“Kerja untuk hidup atau untuk makan?” tanya teman saya beberapa waktu lalu.

“Tentu saja untuk makan” jawab saya.

“Jadi bukan untuk hidup?”

Saya ingat saya menatapnya dengan keheranan. Saya sudah bekerja dari tahun 1994. Saya bahkan belum genap berusia 23 pada waktu itu. 18 tahun berlalu dan saya tidak pernah merepotkan diri dengan pertanyaan saya bekerja untuk hidup atau untuk makan.


Saya bekerja. Saya mendapatkan uang. Saya bisa makan. Sederhana saja.

Tapi kalau ditanya kenapa saya tidak menjawab kerja untuk hidup, saya akan balik bertanya, bukankah ada banyak orang yang tidak bekerja tapi bisa tetap hidup? Misalnya saja orang sakit parah, orang pensiunan, para lansia, bahkan di negara-negara barat, pengangguran pun bisa hidup karena biaya hidup mereka ditanggung oleh pemerintah.

Jaman sekarang lebih banyak orang bekerja supaya bisa makan. Kalau mereka tidak bekerja, mereka tidak punya uang untuk membeli makanan. Hidup tidak memberi mereka pilihan untuk berpikir untuk apa mereka bekerja.

Saya tidak tahu anda bekerja untuk diri sendiri atau menanggung orang lain. Saya tidak tahu apakah penghasilan anda berlebih atau hanya cukup untuk makan 1 hari atau 1 minggu, tapi yang pasti kita sama-sama tahu bahwa bekerja adalah mutlak diperlukan untuk menyediakan makanan diatas meja dan untuk membayar tagihan-tagihan. Kita menjalani apa yang kita tahu harus kita jalani, sekalipun itu berat dan tidak menyenangkan.

Pernah nonton filmnya Julia Roberts ‘Eat, Pray and Love’?.

Seorang yang jenuh dengan kehidupan mulai mempertanyakan apa arti kehidupan. Dia berhenti dari pekerjaannya dan pergi ke beberapa negara untuk mencari jati diri dan arti kehidupan.

Saya pikir dia pastilah tidak punya tanggung jawab untuk menghidupi siapa pun dan juga pasti memiliki tabungan, saham atau deposito cukup banyak yang menjamin dirinya tidak akan kelaparan selama melakukan perjalanan itu. Hehe. Enak betul ya kalau kita semua bisa seperti itu.

Film itu lebih menggambarkan keinginan saya. Kabur. Lepas dari tanggung jawab. Bebas. Merdeka sepenuhnya. Tidak peduli dengan ‘Kerja, Makan dan Hidup’ tapi hanya menikmati setiap detik dari hari yang ada, mensyukurinya dan menjalaninya tanpa banyak pemikiran atau pertimbangan.

I just wanna ‘Eat, Pray and Love’..

Mensyukuri, menikmati dan berpetualang dengan makanan-minuman apa pun.

Menyegarkan dan memperbaharui sisi kerohaniaan saya yang akhir-akhir ini terasa compang camping dan gersang.

Mencintai dan dicintai. Dulu saya menemukan cinta dalam diri anak-anak didik saya. Ketika saya berhenti bekerja sebagai guru, saya kehilangan cinta itu. Sebagian besarnya. Cinta dari orang dewasa tidak memuaskan batin saya. Cinta orang dewasa dapat berubah dan tidak tulus murni.
___________________________________________

“Is it work to live or work to provide meals?” asked a friend of mine.

“For the last reason” was my reply.

“So it is not for living?”

I remember how I stared at him. Confused. I have worked since 1994 when I haven’t turned 23. 18 years have passed and I never bothered myself with such questions.

I work. I get paid. I can eat. As simple as that.

If asked why I didn’t say work to live, I’d say there are people who do not work but can live. Take elderly people for example, who live on their pension or in a home. Or people with terminal illness or disabled people. Even jobless people can live because they get financial support from the government.

The fact is people work so they can bring food home these days. They don’t have much option. Life does not give it to them so they do not give too much thought on why do they work.

I don’t know if you work for yourself or to support other people, or if you earn a lot or is it only enough for a day or a week, but one thing for sure we all work so there are food at home and we can pay our bills. It is the main reason why we go to work everyday no matter how hard it is.

Have you seen Julia Robert’s movie “Eat, Pray and Love’?


Someone who is tired of work and life went a broad on a quest to find answers.

I think she must be a person who does not work to support other people but herself, that she must have lots of saving or stocks so she wouldn’t have to worry about money when she was on the journey. Yeah.. so I bet it would be our wishes too, right?

The movie describes my wish. To get away. Run away. Fred from responsibility to make money, to work for other people. Thoughtless about ‘work, eat and live’ and just enjoy every second life brings on daily basis and feeling grateful for it.

I just wanna ‘Eat, Pray and Love’..

Thanking, enjoy and taking culinary adventure.

Refreshing and renewing my spiritual life that lately has gone dry.

To love and be loved. I found love in my students. But then I quitted my work as kindergarten teacher and I soon discovered I lost most of that love. Grown-ups’ love do not satisfied me. Their love does not last long and it is not sincere.

Monday, May 28, 2012

Kanak-Kanak / A Child

“Bu Keke ulang tahun kok ngasih kayak gini sih?” bu Martha menceritakan komentar Niko soal bingkisan yang saya berikan padanya hari Sabtu (19/5) “Ini kan buat anak TK. Bu Keke kan udah ibu-ibu, masa sih ngasih beginian”.

Ngakaklah saya mendengarnya.

“Sok tua tu anak” kata saya geli.

“Emang” bu Martha nyengir “Sepanjang jalan pulang dibahas tuh”.

Kami berdua pun tertawa. Niko… Niko…, cucu bu Martha yang pernah menjadi murid saya selama setahun di TK A tahun 2010-2011 dan sejak 2 bulan lalu menjadi murid les saya memang lucu, kritis dan sok tua.

Sebetulnya yang surprise dengan bingkisan itu memang bukan Niko saja. Hari Jumat (18/5) ketika saya mengeluarkannya dari dalam kantong plastik besar, surprise terlihat jelas diwajah anak-anak dan juga emak-emaknya. Tidak ada yang menyangka soalnya. Hehe.

Padahal menurut pendapat saya, ulang tahun yang dirayakan dengan mengundang anak-anak tentulah harus mengikuti gaya mereka sekalipun yang berulangtahun itu umurnya 41 tahun. Hehe.

“Bu Keke kayak anak kecil” Martha mengutip perkataan Niko. Hehe. Saya sudah sering mendengarnya dan sama sekali tidak menjadi tersinggung karenanya.

Karena ‘kayak anak kecil’ disini berarti saya memiliki ketulusan hati dan kepolosan seorang anak kecil. Itu kan hal yang baik.

Jadi bukan berarti saya ‘kekanak-kanakan’ dalam artian seorang yang gampang marah, ngambek, tersinggung, pendendam, tidak mau mengalah, mau menang dan mau benar sendiri.

Kita semua seperti itu sewaktu kita masih kanak-kanak, remaja dan bahkan saat sudah mencapai umur 20an. Tapi kemudian perjalanan hidup mengikis sebagian besar atau mungkin malah membuang seluruh sifat-sifat kekanak-kanakan itu sehingga kita bertumbuh menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik, lebih matang, lebih dewasa dan tentunya lebih disukai orang.

Tapi tanpa kita sadari bagian dari kepolosan dan ketulusan seorang kanak-kanak ikut terkikis atau malah terbuang seluruhnya.

Saya telah menjadi orang dewasa sepenuhnya sekarang dan saya lebih banyak bergerak dalam dunia orang dewasa setelah saya berhenti bekerja sebagai guru TK.

Sejak itu pula saya menyadari bahwa ternyata memerlukan perjuangan untuk tetap mempertahankan sisi kepolosan dan ketulusan seorang kanak-kanak dalam diri saya.

Mengapa demikian?

Karena dunia orang dewasa adalah dunia yang dipenuhi dengan rupa-rupa kekhawatiran, ketakutan, kecurigaan, keinginan, ketidakpastian, ambisi, ketidakpuasan, kecemburuan, iri, kemunafikan, ketidakjujuran, materialisme, kehausan untuk dipuji, diakui, disanjung dan dihormati.

Ketika kita hidup dan bernafas dalam aura yang dipancarkan oleh orang-orang dewasa disekitar kita, kita bisa tertular, terbawa, terseret dan tenggelam didalamnya. Ini yang membuat saya menyadari ternyata memerlukan perjuangan untuk mempertahankan sisi kepolosan dan ketulusan seorang kanak-kanak yang ada dalam diri saya.

Menjadi diri sendiri memang tidak mudah. Orang ingin supaya kita menjadi seperti mereka. Kadang kita sendiri yang ingin menjadi seperti mereka.

Diantara sekian banyak orang dewasa yang mengitari saya, ada yang memang saya tiru karena mereka memiliki sifat-sifat yang baik. Tapi tidak sedikit yang berupaya (dengan sengaja atau tidak) untuk mempengaruhi saya supaya saya berpikir, berpandangan dan bahkan bersifat seperti mereka.

Tapi saya bersikukuh mempertahankan kepolosan dan keluguan kanak-kanak dalam diri saya karena keduanya menolong saya :

1.  untuk bisa lebih sabar menghadapi hidup dan manusia;
2.  untuk membebaskan diri dari rasa cemas, iri, curiga, marah,       
     dendam;
3.  membuat saya tidak memperumit suatu keadaan atau persoalan;
4.  terhindar dari sakit kepala, stress, maag, tekanan darah tinggi;
5.  untuk tetap awet muda, bo!
6.  dan pastinya orang-orang jadi senang bergaul dengan saya dong.

Hehe.
__________________________________________________

“Why is it Miss Keke gave goodie bag like this one?” Mrs. Martha told me what her grandson, Nico, told her on Saturday, May 19th, after I gave him my birthday goodie bag that contains of kids’ snack and milk “Miss Keke is a big girl. A goodie bag like this only given by a kindergarten kid”.


I bursted into laugh.

“So he thinks he’s a big boy, eh?”

“Tell me about it” Martha grinned “He talked about it endlessly on our way home”

We both laughed. Nico was my student back then in 2010 to 2011 and I’ve been tutoring him in the past 2 months. He is a funny little boy who is critical and thinks as if he were older already.

Actually Nico was not the only one whom I surprised with the goodie bag. The kids and their moms were clearly surprised when I took the goodie bags out of the big plastic bag. They certainly did not expect it.

In my opinion, if you invite kids to your birthday party you should insert something that usually hold in a kid’s birthday party and goodie bag is what usually given to kids before they go home. So I don’t care if it was my 41st birthday party or not, I must give goodie bags to my little guests.

“Miss Keke is just like a kid” Martha recalled what Nico said. Lol. I have heard it often and never feel offended.

‘Just like a kid’ means I have a kid’s sincerity and innocence. Now those are good qualities.

So ‘Just like a kid’ does not mean I am childish, emotionally, moody, shallow minded, ego centered, short tempered person.

We were like that when we were a kid, a teenager or even in our 20-s but life shapes us, as it also get rids some or all of those childishness off our characters and personalities. Turning us into matured, wiser, better and likeable people.

But have we realized our kids’ sincerity and innocence can also be gone?

I have grown into a grown-ups and I am surrounding mostly by grown-ups after I resign my job as kindergarten teacher. It is when I realize how uneasy it is to keep my kids’ sincerity and innocence side in me.

Why do I feel like that?

It is because the world of the grown-ups is filled with so many worries, fears, suspicion, ambition, uncertainties, jealousy, selfishness, hypocrisy, dishonesty, materialism, desire to be praised, adored and exhaulted.

When we live and breathe in those kind of auras, we can imitate and adapt them. It is why I then realize how uneasy it is to keep my kids’ sincerity and innocence side in me.

It is not easy to become ourselves. People want us to be like them. Sometimes we are the one who want to be like them.

Of all the people I met there are some whom I imitate but it is because they have positive characters and personalities. But there are others who, whether they do it on purpose or not, want to influence me and turn me like them.

But I keep my kids’ sincerity and innocence side in me because they both help me :

1.   to be patience toward life and people;
2.   to free myself from worries, jealousy, suspicion, anger,   
      hatred;
3.   to not complicated problems or situations;
4.   to avoid headache, stress, gastric problem, high blood 
      pressure;
5.   to stay young!
6.   and I am surely a likeable person to be with

Lol.

Sunday, May 27, 2012

Ulang Tahun Paling Berkesan / Most Memorable Birthday

“Hai say, ini Keke. Eh, besok jam 3 ada acara ga? Kalo ga ada, ke rumah ya”

Hari Kamis (17/5) saya mulai menelponi emak-emak yang saya rencanakan untuk diundang datang ke rumah.


“Eh, ada apa nih?”

“Bu Keke mo ngadain acara apa?”

“Lu mo kawin ya?” tembak Evelyn sambil cekakakan “Udah seserahan?”

Sinting! Hehe.

Kok ya saban kali ngundang mereka ngumpul, ada aja yang nebak saya mau married. Biarpun sudah dibilang ini kumpul buat syukuran, tetap aja ngotot nanya syukuran mo kawin ya? Lha, emang syukuran cuma buat kalau mau married? Hehe.

Ini syukuran buat semua yang sudah kita terima, yang sedang kita terima dan yang akan kita terima dari Tuhan.

Ini bukan perkara tentang baik, buruk atau enak, tidak enak serta bukan pula tentang berat, ringan. Tapi ini buat bersyukur .

Saya dan orang tua saya sudah lama ingin membuat acara syukuran. Bokap maunya masak-masak trus dibagikan ke pengemis dipinggir jalan. Biasanya itu yang kami lakukan. Tapi entah kenapa niat ini tidak pernah terlaksana.

Saya sendiri dari beberapa tahun lalu pengenannya bikin acara ulang tahun gaya anak-anak. Maklum, kan dari tahun 2005 sampai 2011 kerjanya ngajar di TK jadi ya sudah sering hadir di acara ultah anak-anak. Lama-lama mikir seru juga kali ya kalo ngerayain ultah gaya pestanya anak-anak.

Tapi kalau mau bikin disekolahan, wah, berapa budgetnya, bo? Ga sanggup d gw ngadain. Apalagi gaji guru cuma Rp.600.000 sebulan. Itu juga baru tahun 2011 jumlahnya jadi segitu. Buat bisa hidup sebulan aja saya mesti kerja dobel jadi guru les. Nah, jadi manalah bisa bikin pesta ultah di sekolah? Hehe.

Awal bulan Mei, tiba-tiba aja saya dan bokap terinspirasi buat ngegabungin keinginan masing-masing. Acara syukuran + ultah.

Sudah gitu kita main jalan aja. Tidak pakai banyak pertimbangan. Apalagi hitung-hitung budget. Tidak pakai uang tabungan. Tidak nyisihin duit dari beberapa bulan sebelonnya. Semua 100% diambil dari duit gaji saya. Kami juga heran kok bisa cukup.

Ga salah deh kita kasih judul acara syukuran karena luar biasa semua biaya bisa ketutup dari uang gaji. Padahal itu gaji biasanya serba pas buat hidup sebulan karena memang pemasukan cuma dari gaji saya.

Diawal bulan ini seorang ibu di gereja memberikan saya Rp.100.000. Lalu beberapa hari lalu seorang ibu yang lain juga memberikan saya Rp.100.000 tepat disaat uang gaji yang tersisa tinggal Rp.145.000.

Di pagi hari saat saya melihat uang gaji tinggal segitu jumlahnya, saya mikir kami baru saja mengadakan acara syukuran karena Tuhan selalu ada bersama dengan kami melewati berbagai macam peristiwa dan sikon. Kami tidak pernah ditinggalkan sendiri. Jadi saya meyakini uang itu akan cukup sampai akhir bulan walau kelihatannya mustahil. Eh, siangnya, seorang ibu mendatangi saya dan menyelipkan uang Rp.100.000. Nah, terbukti kan bahwa Tuhan menyertai. Uang kami sekarang menjadi Rp.245.000. Saya tidak pernah punya bayangan bagaimana caranya uang itu bisa bertambah. Hehe.

Jumat tanggal 18 Mei. Hari H. Jam 3 belon ada yang nongol. Jam 3.30 hujan deras. Ya astaga! Yang datang baru Evans, Dio, Dite, Joan, beserta Echa, Anggi dan mamanya. Yang lain pada kemana????

Rasanya hati saya sudah menciut sampai sebesar kacang ijo kali. Saya sembunyikan sedih dan putus asa dalam-dalam.

Kok banyak banget ya tantangannya. Padahal cuma acara syukuran. Tantangan pertama bokap yang harus ke Jakarta kemarin karena adik iparnya mendadak meninggal. Padahal kemarin itu rencananya bokap mau mulai masak.

Trus pada hari yang sama itu nyokap nelpon saya dikantor. Adonan kue sudah masuk loyang tapi ovennya ga mau nyala!!. Kalau ga langsung masuk oven, adonan kue bisa rusak. Haduh!! Udah gitu tetangga yang dimintain tolong, kagak ada seorang pun yang mau datang (pake alasan ga bisa, ga ngerti urusan nyalain kompor lah. Heh! Bilang aja emang kagak mau nolong). Sungguh keajaiban dari Tuhan aja yang bikin tu oven akhirnya mau nyala so kuenya jadi. Ga rusak. Ga bantet. Sukses!


Lantas ni hari, hari istimewa ini, pagi-pagi rohaniawan gereja yang saya undang untuk datang, sms. Maaf, terpaksa batal datang karena tiba-tiba sikon tidak memungkinkan untuk bisa datang.

Bu Martha, omanya Niko, tidak bisa datang juga karena mamanya Niko melahirkan.

Trus rohaniawan yang lain siangnya sms. Maaf, saya banyak urusan jadi tidak bisa datang.

Dia orang terakhir yang saya harapkan bisa hadir. Bahkan sebetulnya adalah orang yang paling saya harapkan untuk datang. Dia adalah teman saya yang paling dekat. Yang saya inginkan untuk berdoa bagi saya dihari ulang tahun saya ini.


Selama setahun ini kami bekerja dan bergaul sangat baik tanpa pernah cekcok walau tentunya pernah saling kesal terhadap satu dengan lainnya. Bisa punya hubungan yang harmonis dengan setiap orang kan termasuk anugerah dari Tuhan dan itu menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang saya syukuri. Dan dia baru saja mengirimkan sms untuk memberitahu bahwa dia tidak bisa datang.

Yah, itu klimaksnya. Air mata saya nyaris runtuh. 3 orang dari gereja yang saya undang semuanya tidak bisa datang.

Diluar hujan deras. Saya tidak tahu apa yang harus saya pikirkan. Saya bahkan sebetulnya takut untuk berpikir. Jadi lebih baik memang saya tidak berpikir.

Dihadapan saya terlihat Dio, Echa, Evans, Dite, Joan dan Anggi. Mereka tetap ceria. Bermain dengan puzzle dan beberapa mainan lainnya yang saya keluarkan untuk menyibukkan mereka.

Melihat dan berada diantara mereka meringankan beban dihati saya. Jadilah saya menghibur diri dengan ikut bermain dan bercanda bersama mereka. Jam 4 sore kami memutuskan untuk memulai acara.

Lalu jam 4.30… jreng, jreng…, mama Justin datang. Kok cuma dengan Chelsea? Justin mana?

“Nginap dirumah neneknya, bu”

Yah, tidak apalah. Melihat mereka sudah membuat hati saya terhibur.

Bunyi motor membuat kami semua berhenti mengobrol. Evelyn dan anaknya, Vio, datang.

Belum lagi 2 menit lewat, … brum.. brum.., datang motor lagi. Kim & Stevany datang!


Heran juga saya ketika akhirnya kami berkumpul. Kelihatannya hidup saya punya pola yang sama ‘bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian’. Ya, soalnya setelah sempat bersedih hati karena mengira cuma sedikit yang datang ke ulang tahun saya, akhirnya saya mendapat kebahagiaan juga karena mereka datang.

Tahun depan saya kepingin merayakan ulang tahun lagi, ah. Hehe. Tentunya semakin banyak yang bisa disyukuri dan pastinya akan lebih banyak lagi orang yang saya undang karena saya yakin tahun depan keadaan keuangan saya lebih tajirrrrrr. Iya dong. Tuhan kan menyertai dan memberkati kami.

Hehe.

Jadi kalau saya undang, jangan ga datang! Ayo kita kumpul, berdoa, bersyukur, makan-makan, ngobrol dan bergembira!!
________________________________________________

“Hey, it’s Keke. Are you free tomorrow afternoon? If you are, I’d like you to come to my place”

I called the ladies on Thursday, May 17th. Inviting them to my birthday party though I didn’t say there would be a party.

“What is this all about?”

“What are you up to?”

“You’re getting married!” exclaimed Evelyn excitedly as she laughed merrily “So it is, isn’t it?”

Guys, come on… why is it that everytime I invite you to my place you think it me getting married? Lol.

This is a thanksgiving. It does not have to be linked to marriage to have a thanksgiving party, right? We’ve got lots to be thankful.

We wanted to make this since long time ago. My dad usually cook some meals to give to beggars but time passed and he never did it.

As I myself have long wanted to have a birthday party kid’s style. I taught in kindergarten for 6 years. I have attend many birthday party held in school that it made me thought how fun it would be if I could have my own birthday party like that.

But it has always been the budget thing that prevented me from made it. My Rp.600.000(US$60) a month salary as kindergarten teacher couldn’t afford such party. Let alone to make a party, I had to tutor to make ends meet.

But early this month my dad and I decided to combine it. A thanksgiving and a birthday party.

And we just did it. Didn’t think about budget. We just go for it. The fact is my salary can covered the whole cost.

Early this month a lady gave me Rp.100.000 and few days ago another lady gave me the same amount of money. It proves that God is faithful. In the morning I saw there are only Rp.145.000 left and I didn’t know how it would be enough till end of May. With some additional I know it can.

Friday the 18th. D day. The clock was ticking. 3 pm. Nobody except my students and a lady came. Where were the others??.

3.30 pm. Pouring rain.

My heart sank. I swallowed down my sadness and disappointment.

It’s just a birthday party. Why is it there were so many challenges?? It has started since the day before when my dad’s brother in law suddenly passed away that made him had to go to Jakarta when he already planned the day to cook the meals for today’s party.

This morning my mom called me at work. She couldn’t turn on the oven. She tried several times but the oven didn’t work. The cake dough has to be put in the oven or it would be ruined. 

We couldn’t figure it out what made the oven wouldn’t turn on. My mom has asked our neighbors only to get answers that nobody could come, they didn’t know a thing about an oven, they all have other things to do. Yeah right… if you don’t want to help, just say it. Don’t give excuses.

And on this special day, the three people from church whom I invited couldn’t come. All of them. One texted me in the morning. Sorry, something came up that made me unable to attend your party. The other had to go to the hospital because her daughter had to deliver a baby.

The last person texted me at around 3 pm. Sorry, I’ve got lots of things to do. He too couldn’t come. The person I really expected to come. The best friend I have at work with whom I get along very well in the nearly a year. The person I wanted to pray for me on my birthday just texted me to inform me that he too couldn’t come.

I was nearly broke down in tears.

It was pouring down outside. I didn’t know what to think. The truth is I was scared to even think.

I came to see Dio, Echa, Evans, Dite, Joan and Anggi who seemed didn’t bother. They noisily and happily played with my puzzles. I joined them. It lifted up my heart to be around them. And at 4 pm we decided not to wait any longer. We started the party.

4.30 pm. The sound of motorcycle brought to our attention. It was Chelsea and her mom. But where is Justin?

“He stays with his grandmother” said the mom.

Oh ok. No problem. They came. I felt a little happier.

Another sound of motorcycle… and it was Evelyn with her daughter, Vio. Only to be followed by Stevany and Kimberly 2 minutes later.

I shook my head in disbelief. And just when I thought I would have a disappointing birthday and thanksgiving party.. they were all here. It seems my life has been patterned ‘Happiness at last’.

Hmm… I want to make another birthday party next year. It will be plenty more to thank for so I will invite more people because I believe I will have more money then… yessss!!! That’s for sure. God is with us, right? His blessings are definitely pouring down upon us.

So when I invite you, don’t turn it down. Come. Eat, pray and have fun with us.

Monday, May 21, 2012

Hp / Cellphone

“Ke, semalam anak Perkantas ada yang ketinggalan kacamata dan hp-nya di persil” begitu laporan yang saya terima hari Minggu pagi (22/4) “Dia taruh dibawah kursi. Saya baru saja cek. Cuma nemu kacamatanya”.

Hp dan kacamata ketinggalan dibawah kursi???

Saya juga berkacamata dan tentunya juga punya hp. Jadi kedua benda itu sangat penting bagi saya. Bisa dikatakan selalu menempel dibadan saya. Sampai ke kamar mandi pun mereka ikut. Mereka baru saya lepaskan kalau saya tidur. Tapi itu pun posisinya tetap dekat-dekat dengan saya alias berada dilantai, dibawah tempat tidur sehingga mudah untuk dijangkau.

Kok bisa ya hp dan kacamata ketinggalan???

Kacamata bisa saja ketinggalan. Apalagi kalau itu kacamata hitam atau kacamata baca. Tapi kalau kacamata minus pasti susah untuk dicopot-pakai-copot-pakai karena siapa juga yang mau kemana-mana memakai mata rabun. Ya, ada juga sih yang emoh pake kacamata karena malu, tidak nyaman, berasa minusnya masih ringan. Tapi umumnya mereka yang bermata minus pasti memilih memakai kacamatanya.

Jadi dugaan saya ini pasti kacamata hitam atau kacamata baca yang ketinggalan. Perkantas adalah kelompok anak mahasiswa Kristen. Mungkin ini kacamata hitam karena jarang banget ada anak muda yang sudah membutuhkan kacamata baca.

Yang bikin bingung kok bisa hp ditaruh dibawah kursi dan yang empunya hp bisa-bisanya pulang tanpa ingat pada benda berharga itu?

Saya pernah kehilangan hp. Dua kali. Tapi bukan karena ketinggalan. Dua hp hilang dicuri orang. Sejak itu pula saya nyaris tidak pernah terpisahkan dari hp. Kemana pun saya ada, hp itu pasti ada dalam saku celana panjang saya. Dengan perkecualian kalau saya ada di rumah.

Bukan karena perkara kecurian tapi karena nilai rupiahnya yang tidak murah. Apalagi setelah hp kedua hilang, saya menyadari pendapatan saya tidak lagi sebesar sebelumnya sehingga saya merasa tidak sanggup untuk langsung membeli hp baru.

Waduh, sedih betul rasanya waktu hp terakhir hilang. Lha, hp yang saya beli dengan kredit dan belum lama lunas kok bisa raib. Untungnya beberapa minggu kemudian ada orang tua murid yang memberikan hp kepada saya. Walaupun tidak baru tapi masih berfungsi dengan baik. Hp ini masih saya pakai sampai sekarang. Dan saya menjaganya baik-baik supaya jangan hilang lagi.

Saya mengambil kesimpulan, mereka yang menjaga benda-benda miliknya adalah mereka yang menghargai benda-benda itu. Terutama kalau benda itu dibelinya sendiri dan harganya tidak murah. Atau misalnya benda itu pemberian dari orang lain yang membuat benda itu punya nilai tinggi sehingga menjaganya merupakan tindakan penghargaan dan ucapan syukur atas pemberian tersebut.

Sayangnya saya sering melihat banyak orang tidak memiliki pemikiran atau pengalaman seperti itu. Mungkin karena merasa punya duit banyak sehingga sanggup membeli hp kapan saja atau mendapatkan hp itu tanpa perjuangan, misalnya, anak yang diberikan hp sebagai hadiah ultah atau yang orangtuanya langsung membelikan hp baru setelah mendapat laporan hp si anak hilang atau rusak.

Seorang anak sekolah minggu di gereja beberapa waktu sebelumnya pernah kehilangan hp. Anak berumur 10 tahunan itu meletakkan hpnya diatas kursi. Tanpa dapat mengingat apakah dia tidak pernah beranjak kemana pun, dia langsung menuding seorang temannya yang kebetulan pada waktu itu duduk didekatnya. Anak yang dituduh tentu saja bersikukuh tidak mengambil dan memang tidak ditemukan hp itu dalam tasnya.

Hati saya sering miris setiap kali melihat anak usia sekolah membawa hp. Dari cara dia memegang benda bernilai ratusan sampai jutaan rupiah itu saja sudah membuat saya menahan napas karena gerakannya seakan benda dalam genggaman tangannya itu bernilai hanya seribu-dua ribu perak.

Hp sekarang ini dipandang sebagai kebutuhan. Orang tua merasa dengan memberikan hp pada anak akan membuat kedua belah pihak lebih mudah untuk saling berkomunikasi. Saya tidak menentang pemikiran ini.

Yang saya prihatinkan adalah bila kita memberikan benda-benda bernilai tinggi pada anak tanpa disertai dengan nilai-nilai pendidikan seperti memberikan pengertian kepada anak bahwa dia harus bisa menghargai pemberian itu. Dan dengan demikian dia bertanggungjawab untuk menjaganya. Bila benda itu rusak atau hilang maka akan ada sanksi atau konsekuensi yang harus diterimanya. 

Pengertian berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah bahwa benda itu diberikan padanya atas dasar kegunaanya dan bukan sebagai alat untuk mengikuti mode atau tren, apalagi untuk jadi ajang pamer atau ikut-ikutan.

Dengan demikian hendaknya hp yang diberikan kepada anak jangan yang bernilai tinggi. Hp diberikan kepada anak untuk memudahkan orang tua dan anak untuk berkomunikasi. Jadi belikanlah hp yang murah saja.

Tekankan kepada anak bahwa kalau dia ingin memiliki hp yang bagus, keren atau canggih maka dia harus bekerja. Memiliki benda-benda yang dibeli dengan uang hasil kerja sendiri akan membuat anak dapat menghargai jerih payahnya dan juga menghargai benda-benda miliknya.
________________________________________

“Someone from Perkantas left the glasses and cellphone under a chair last night” I was given this information on Sunday (April 22nd) morning “I just checked it and I only found the glasses”.

A glasses and cellphone were left under a chair???

I wear glasses too and surely I have a cellphone. Those are essential stuff so they never kept far from me. Not even when I go to the bathroom. I only wear them off me when I go to bed. But I put them within reach.

How could somebody forgot his or her glasses and cellphone at the same time???

It is possible to forget where you put your glasses or forget to bring your glasses especially if you do not wear them all the time. Sunglasses for example or glasses for the near sighted. Though for some reason few people prefer not to wear their glasses all the time though they have poor vision. 

So I thought it must be sunglasses because Perkantas is Christian university student association. I don’t think it was a near sighted glasses because it is rare to have young people wear that kind of glasses.

What made it a big confusion is howcome someone left his or her cellphone under a chair and then went home completely forgot all about it.

I lost cellphone twice. But never because I left them somewhere and then forgot to retrieve them. They were stolen. After the last one was stolen I keep my cellphone close to me.

It is not only because I want to prevent anyone from stealing it again but because it is not cheap.

I remember how sad I was when someone stole my cellphone. I bought that cellphone on credit and I just completed the one year installment. I am glad that a parent of my student gave me a cellphone. It is not new but can work well. I am still using it now and I guard it carefully. 

I came to conclusion that those who keep their stuff well, guard them carefully, are the kind of people who appreciate their belongings. Especially if they bought it themselves and it is pricey. Or if it is given by other people so keep the stuff well or guard them carefully are sort of a way to show gratification.

Unfortunately most people don’t have this kind of thinking. Maybe they think they have lots of money so they can buy cellphone anytime and at any price. Or perhaps they think they can get cellphone so easy once they report it broken or missing.

A Sunday school kid lost her cellphone few weeks earlier. She said she put it on her chair and without able to remember whether she kept sitting on that chair or she left it, she pointed her finger on a kid who sat nearby as the person who stole her cellphone. There was no proof of course.

Kids are likely to show disrespect and unappreciation toward their own stuff. I have seen kids held their pricey cellphones like they were just piece of unvaluable stuff.

Cellphone is now seen as a need and parents think giving their kids cellphones will make it easy for their communication. I am not against this.

My concern is when we give cellphone to kids without instill them with the understanding that it is a communication gadget that not come cheap so it should not be taken for granted. They should respect, appreciate and have responsibility for the cellphone given to them. And there will be consequences or sanction of they break or lose the cellphone.

Instill in the kids that cellphone is given to them for communication reason so it is not for showing off or follow the trends reason. So it would be better not to give them expensive or sophisticate cellphone.

When the kid wishes to have sophisticate or expensive cellphone then he or she must work for it. Owning stuff that we buy with our own hard work money will give us the feeling of proud, respect, appreciation and responsibility toward ourselves and our stuff.

Wednesday, May 16, 2012

Lupa / Forget

Bisa jadi bahan tertawaan tapi pada kasus tertentu, hal tentang lupa ini dapat menciptakan kepanikan.

Meletakkan sesuatu dan kemudian kebingungan sendiri mencari benda itu sih rasanya jamak. Kita semua sudah pernah mengalaminya. Kadang lucu. Kadang menyebalkan. Seperti yang dialami oleh seorang anggota majelis yang berputar-putar dari ruangan ke ruangan demi melacak keberadaan kacamatanya. Hehe.

Karena itulah saya berupaya untuk selalu menggenggam apa pun yang sedang saya pegang saat sedang sibuk karena takut kalau main taruh di satu tempat, bisa-bisa saya sulit atau malah tidak bisa menemukannya lagi.

Jadi jangan heran bila melihat saku celana panjang saya menggembung karena penuh dengan berbagai barang mulai dari pulpen, kunci, hp, tisu, sobekan kertas, karet, paperclip, duit. Buset, itu kantong atau keranjang mini ya? Hehe.

Repotnya kalau saya sedang membawa map atau lembaran-lembaran kertas yang tidak mungkin bisa muat dimasukkan ke dalam saku. Disitu itulah saya mengingatkan diri sendiri untuk tidak slebor menggeletakkannya di suatu tempat tanpa memperhatikan karena nanti bisa bingung sendiri mencarinya. Hehe.

Lupa dengan pakaian atau barang-barang sendiri? Nah, saya model orang yang cuekan. Saking cueknya, saya bisa lupa dengan pakaian milik sendiri. Kalau lagi lihat-lihat lemari tiba-tiba kaget sendiri karena melihat ada pakaian atau benda yang sudah terlupakan keberadaannya. Hehe.

Lupa nama atau muka orang? Lupa kapan atau dimana bertemu dengan seseorang dimasa lalu? Wah, ini mah lebih umum.

Lupa dengan hal-hal yang beberapa waktu sebelumnya kita lakukan? Siapa yang tidak pernah? Senior saya pernah merasa tidak membaca satu surat padahal surat yang sudah masuk ke folder adalah surat yang sudah ditunjukkan pada para senior. Tapi kalau dalam sehari kita menerima banyak surat, ya, mana bisa kita ingat satu persatu sih? Kecuali kalau kita punya daya ingat yang disebut photographic memory alias daya ingat super canggih.

Untungnya kalau tidak semua pihak terkena virus lupa. Misalnya pada waktu saya lupa, rekan sekerja saya tidak. Jadi pekerjaan tidak kocar kacir karenanya.

Repotnya kalau seseorang mengetahui suatu informasi dan tidak meneruskan atau mencatatnya. Apa yang terjadi bila dia lupa?

Bulan lalu saya pernah dibuat luar biasa kesal dan senewen saat mengetahui bahwa penanggungjawab dari paduan suara mahasiswa Kristen IPB lupa memberitahu anak buahnya bahwa kami telah sepakat mereka akan tampil menyanyi di gereja dimana saya bekerja ini.

Gila betul. Dan kelabakanlah saya mencari pengganti. Masalahnya waktu sudah mepet. Nah, rombongan paduan suara mana yang mau ditodong untuk nyanyi secara mendadak begitu? Waduh! Syukur sejuta kali ada satu yang mau. Saking leganya sampai pemimpin paduan suara itu saya peluk. Hehe.

Tapi dulu saya pernah mengalami dimaki rekan kerja saya karena saya lupa membuat appointment. Hehe. Jadi ya kita masing-masing belajar dari kasus-kasus lupa yang diperbuat orang lain maupun yang kita perbuat sendiri.

Yang jelas, semakin banyak kegiatan seseorang, semakin besar pula resiko untuk lupa.  Yang sudah ditulis pun masih beresiko untuk dapat terlupakan. Jadi tidak selalu harus berhubungan dengan umur.

Namun hati-hati, faktor kelelahan dan stress bisa membuat orang jadi pelupa. Ini yang kerap terjadi pada diri saya. Belakangan ini saya beberapa kali mengalaminya. Buat saya ini peringatan. Saya harus mewaspadai kondisi kesehatan jiwa sendiri. 
_______________________________________

Sometimes it makes us laugh while other time it can drive us crazy.

You put something somewhere and then forget where it is? Once in a while we all do that. I remember how I laughed it as I helped a member of the church board looked for his glasses. We searched room after room to find it.

It is why I try to always hold whatever I have on my hands, fearing that if I put it somewhere I might forget where it is or worst, I might loose it.

So my pockets are usually full with lots of things from keys, cellphone, paperclip, tissue, paper, money that sometimes it is more proper to be called mini-basket. I just stash it all in there.

However I can’t put file folder or lots of paper in my pocket so I have to remind myself not to just put it anywhere.

Forget your own things or clothes? Look how fun it is to find them in the drawer or closet. Sometimes we need to do treasure hunt by searching our own drawer, cabinets, closet and even under the sofas. Lol.

Forget people’s name or faces? Or when and where you have met them? Nothing unusual. We all do this.

Forget the things you do a moment ago? One of my senior felt she has not read this one specific letter that I have filed. The thing is every letter that has been filed are the letters that already read by her or other seniors. But yeah, you can’t remember each letter when you receive lots of letter everyday. Unless if you have a photographic memory.

The good thing is to have coworkers who do not forget at the time when you forget things. I am grateful that when I forget something, my coworker remembers so work doesn’t have to be put in harm.

But how if someone holds an information and doesn’t share it to others or note it down? What happens if that person forgets?

It happened last month when I found out that the person incharge in bogor agriculture university Christian choir forgot to inform them that a date has been fixed for them to sing at the church where I work.

Could you imagine how frantic I was? Finding another choir to replace them in short notice was not an easy task. When I finally could one, I spontaneously hugged the choir's person incharge.

But I was once yelled by my former coworker for forgot to make an appointment. Yep, that’s the fact. We learn from our mistakes and from others.

One thing for sure is when someone has lots of work or job, the bigger is the risk to forget things. However, it is not a guarantee that we won’t forget the things we have write down in memos or agenda. It also can not always refer to aging.

Exhaustment and stress can also make us easy to forget things. It has been happening to me occassionaly that I should watch my psyche condition.

Monday, May 14, 2012

Maria dan Marta / Mary and Martha

Di Alkitab tertulis tentang dua bersaudara bernama Maria dan Marta. Pada suatu hari mereka kedatangan tamu istimewa yaitu Yesus. Nah, karena hal seperti ini tidak terjadi setiap hari dan tentunya sebagai tuan rumah wajarlah bila segera terjadi kesibukan. Tapi pada kisah ini Marta yang sibuk kasak kusuk sementara Maria duduk manis didepan sang tamu.

Pengalaman kerja saya sebagai guru membuat saya lebih banyak berperan sebagai Marta setiap kali sekolah mengadakan acara entah itu lomba, Natal, perpisahan. Bahkan dalam keseharian dikelas pun kalau mengikuti maunya kepsek, guru tidak boleh duduk kecuali kalau dia sedang mengoreksi pekerjaan murid.

Masih ingat saya bagaimana dulu saya, teteh dan dua rekan guru lainnya harus ngumpet-ngumpet kalau mau duduk atau makan snack karena kalau terlihat oleh kepsek pasti kami langsung ditegur.

Evelyn & Keke, Kidzania
Saya juga masih bisa tertawa setiap kali teringat bagaimana Evelyn sambil cengar cengir mendatangi saya saat kami berada di Kidzania, menggamit lengan saya dan berbisik “Lu tahu ga gue baru duduk semenit kali waktu si nenek nongol. Eh, gue langsung diprotes. Ngapain duduk-duduk aja disini, katanya”.

“Dasar elu yang aja yang apes. Duduk pas keliatan sama dia” saya tertawa geli.

“Masa gue mesti liat kanan kiri dulu sih setiap kali mau duduk” Evelyn ngikik antara kesal tapi juga geli.

“Depan, belakang, atas, bawah kalau perlu” jawab saya.

Kami pun tertawa. Tawa gusar, frustrasi, sarkasme dan getir. Merasakan ironi sebagai ‘Marta’.

Jadi dengan hal-hal demikian tidaklah heran bila kami tidak pernah menikmati acara yang dilangsungkan. Kenikmatannya baru terasa…. yap, betul sekali, …. setelah acara itu selesai… hehe.

Ketika saya berhenti dari taman kanak-kanak itu dan bekerja ditempat yang sekarang ini, saya mengira saya tidak perlu lagi menjadi ‘Marta’. Eh, tapi ternyata tidak. Ya, ini kan gereja. Mana ada gereja yang tidak pernah mengadakan acara natal, tahun baru, paskah, ibadah-ibadah?

Hanya saja ditempat ini stok ‘Marta’ ada banyak jadi lumayanlah saya tidak harus berasa betul-betul menjadi ‘pesuruh’.

Tapi toh belakangan ini saya memilih untuk tidak mengikuti ibadah diruang ibadah. Saya memilih untuk berada diruangan konsistori yang menempel dengan ruang ibadah. Dari situ saya tetap bisa mendengarkan suara-suara orang nyanyi, khotbah, membacakan warta dsb.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih untuk berada diruangan konsistori. Pertama adalah diruangan itu ada meja sehingga saya bisa duduk sambil membawa kerjaan. Jadi ya ibarat sambil menyelam, minum air. Sambil telinga mendengarkan khotbah atau pujian sambil tangan bisa bekerja; entah itu menulis, memilah-milah dokumen, menggambar, membuat draft blog.

Saya memang tipe orang yang senang melakukan dua-tiga hal pada saat yang bersamaan. Misalnya saja saya senang makan sambil membaca tapi tv juga menyala. Teman saya saja sampai heran melihat saya bisa mengerjakan sesuatu dikomputer tapi sambil mendengarkan musik dan sekaligus juga berbicara dengan dia.

Tapi ada alasan lain yang membuat saya mengambil keputusan untuk mengikuti ibadah diruang konsistori yaitu karena saya sebal ketika sedang fokus mengikuti ibadah atau bahkan saat sedang berdoa, tiba-tiba lengan saya dicolek orang disusul dengan bisikan ‘Ke, ruang TU dikunci ga?’ atau ‘Ke, kamu simpan kunci ini dimana ya?’ dan segala macam ‘Ke.., Ke…, Ke…’ yang lain.

Jadi saya pikir sekalian sajalah saya ngetem diluar ruang ibadah biar praktis. Tapi lucunya nih, kalau saya nongkrong diruangan saya yaitu diruang TU, saya kena tegur karena kok saya tidak ikut ibadah. Nah, kalau saya sedang ikut ibadah, saya diganggu. Hehe. Bingung kan? Tapi begitulah nasib jadi ‘Marta’.

Akhirnya saya pilih ruang yang netral. Dikonsistori tidak ada yang bisa menuduh saya tidak ikut ibadah karena dari situ segala suara dari ruang ibadah terdengar jelas.

Yang sangat mengganggu nurani saya adalah pada waktu saya mengikuti ibadah paskah belum lama ini. Memang betul saya hanya sekali-sekali saja ‘diganggu’ dan selebihnya saya dibiarkan duduk manis tapi mata dan telinga saya mengikuti kegiatan para ‘Marta’ lainnya sambil tanpa terasa deg-degan menunggu kapan saya akan ‘diganggu’ dan ketika hal itu tidak terjadi, saya merasa bersalah karena hanya duduk manis.


Akibatnya sepanjang waktu ibadah itu berlangsung, saya tidak merasa damai sejahtera. Hati saya kosong. Saya hanya menangkap selintas lalu saja apa yang dikhotbahkan oleh rohaniawan didepan sana.

Saya pulang dan saya ingat saya mengeluh pada Tuhan, saya menikmati jamuan makanan dan minuman, saya memotret, saya berbicara, saya tertawa, saya bercanda, saya terlihat ceria tapi hati saya merana, kosong dan merasa bersalah pada Tuhan karena secara rohani saya tidak menerima apapun.

Akhirnya saya berkesimpulan kotbah sejati adalah apa yang saya lihat dan alami lewat berbagai hal yang terjadi serta manusia-manusia yang saya temui setiap harinya dan juga kelakuan, perkataan dan pemikiran saya sendiri. Mungkin demikianlah untuk orang-orang seperti saya. Harusnya itu cukup.

Tapi saya tetap tidak puas. Saya tidak bisa tidak merasa kesal pada ‘Maria’ yang bisa dengan damai duduk didekat kaki Tuhan dan mendengarkanNya bicara. Saya iri pada ‘Maria’. Saya ingin bisa menjadi ‘Maria’… sudah terlalu lama saya menjadi ‘Marta’. Saya ingin berhenti menjadi ‘Marta’ agar saya bisa beristirahat dan duduk didekat kaki Tuhan dan mendengarkanNya bicara tanpa khawatir atau merasa bersalah karena segudang pekerjaan.

Yah, anda mungkin akan berkomentar itu resiko jabatan. Konsekuensi pekerjaan. Kalau tidak mau jadi ‘Marta’, berhentilah menjadi ‘Marta’.

Di dunia ini ada banyak ‘Marta’. Para ‘Marta’ memang dibutuhkan tapi seringkali kebutuhan mereka terabaikan…
______________________________________________________

There is a a story about two sisters, Mary and Martha. One day there was a special guest came in to their house. It was Jesus. Thus it certainly would make them busy welcoming Him. But the story said Mary sat at His feet, listening to Him while Martha was the one who were busy.

My experience working as kindergarten teacher has put me into ‘Martha’ role. Whether it was when school participated in some competition or held events such as Christmas, Easter or end of school year, me and the other teachers acted as ‘Martha’.

I still remember clearly how our school’s cleaning lady and other teachers had to sneak our ways only to eat snack or catching breath for few short minutes. If headmaster caught us did that, she would protest.

I still can laugh when I remember back then in Kidzania children theme park when my former teacher’s assistant, Evelyn, came to me and whispered “I just sat there like five seconds when granny (our mocking nickname to the headmaster) came and protested. She said ‘what are you sitting there, not doing anything’. Yeah, right!”

“It was just not your luck to be seen by her when you were taking a rest on that bench” I laughed.

“So what am I ought to do then? Look around whenever I want to sit?” Evelyn laughed, half in irony and mocked.

“Should do better than that. Look every direction before you even think to sit down” and we both laughed it out loud to just let go the frustration of being ‘Martha’.

So obviously we could never really enjoy the events. The fun began… when they were over… got that right.

I thought my ‘Martha’ days were over when I resigned from that kindergarten but well, what church that does not held any events?. So once more I found myself playing the ‘Martha’ role although to my relief there are plenty of ‘Martha’ stock in this place so it lightened up the burden of being a ‘Martha’.

However, lately I prefer to be in consistory room which is adjacent to the church auditorium. Consistory room is usually made as internal meeting room and can perform as waiting room before the pastor enters the auditorium.

I choose to be in this room because I feel tired of being dragged out of the auditorium when someone needs something. But funny thing is I was not allowed to stay in my room every Sunday morning because I have to attend the Sunday service. Now when I was in the room, attending the service, I oftenly disturbed so I had to leave the room several times. I mean, come on, what’s the point here?

Another reason I prefer to follow the service from consistory room is because I can bring my work there so while my ears are listening to the noises from the auditorium, my hands are working. Well, it is benefit me because I am the kind of person who likes to do more than one activity at the same time.

With a friend at consistory room
So I consider consistory is a neutral room. No one can say I skip Sunday service because in that room I can hear the whole things held in the auditorium where Sunday service is held. But the room itself allows me to work. Making my presence there more efficient.

But this ‘Martha’ stuff has bothered me deeply when I was at Easter service. Well so I was not get too many distraction. I thought I could sit nicely through the service but not quite because I saw and heard all the hustle-bustle of the other ‘Marthas’. I felt guilty for being in there. I couldn’t consentrate to the sermon and thus, there was a big hole of emptiness in my heart that day.

I went home and I remember how I told God about it. I was masquerading while I was there. I enjoyed the food and beverages, I chatted, joked, laughed, took photos and so I seemed to be very much part of the event but the truth is I felt empty.

At the end I concluded that for me the real Truth in God’s words are the things I experience, the people I meet and through my own behavior and thinking. It should be enough, right?

No, it does not satisfy me. I can’t help not to feel jealous to ‘Mary’ who sits peacefully at God’s feet, who could be left alone, listening to Him. I want to be ‘Mary’. I have become a ‘Martha’ too long. I want to quit it. I need a break. I want to be free.

‘Occupational hazard’, you would say. Call it a quit if you don’t want it anymore… yeah..

There are many 'Martha' in this world. We need them. Definitely. But their needs are oftenly neglected.