Greetings dear readers / salam buat para pembaca

Knowing that I say it better in writing, and I do love writing, I decided to write my experiences and thoughts in this blog so this is my e-diary.

Don't speak Indonesian? No need to worry, it is written both in Indonesian and in English.

Happy Reading, everybody !
__________________________________________

Buat saya mengungkapkan isi hati dan pemikiran lebih gampang dilakukan dalam bentuk tulisan dan karena saya juga senang menulis, saya memutuskan menulis hal-hal yang saya alami dan yang ada dalam pikiran saya dalam blog ini.

Untuk yang tidak bisa berbahasa Indonesia, jangan khawatir, blog ini saya tulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Selamat membaca !

Wednesday, February 29, 2012

Warisan / Legacy

Apa yang ada di dalam darahmu tidak akan bisa ditiadakan. Bisa diingkari. Tapi tidak bisa dihilangkan. Itulah jejak yang ditinggalkan oleh nenek moyang di dalam diri kita masing-masing.

Orang tua saya adalah perpaduan unik antara budaya barat dan timur. Ibu saya dibesarkan dalam budaya Belanda. Ayah saya dalam budaya Cina. Sehingga saya pun ikut dipengaruhi oleh dua budaya tersebut selain tentunya budaya dari negeri tercinta ini, Indonesia.


Pergaulan saya pun bercampur baur dengan orang-orang Indonesia dari berbagai ragam daerah, lalu orang-orang keturunan Cina dan orang-orang asing. Bersama-sama mereka  meninggalkan jejak warisan budayanya masing-masing di dalam diri saya.

Hari Senin, 6 Februari 2012 saya berkesempatan untuk menonton arak-arakan perayaan Cap Go Meh yang diadakan di Jl. Sukasari Bogor. Itu adalah yang pertama kalinya bagi saya.

“Kakek buyut kamu datang dari daratan Cina” ayah saya yang biasanya super duper senewen kalau saya mengatakan akan bepergian ke tempat yang jauh atau yang mengharuskan saya pulang malam kali ini memberi dukungan walaupun sebetulnya saya sudah menyiapkan sejuta alasan untuk berjaga-jaga kalau senewennya kumat “Sudah waktunya kamu tahu budaya moyang kita”.

Jadi berangkatlah saya penuh semangat menuju gereja pusat kami yang memang berlokasi di jalan Siliwangi yang merupakan terusan dari jalan Sukasari. Di sana saya lebih aman dan nyaman menonton pawai Cap Go Meh.

Nangkringlah saya di pagar depan gereja sejak jam 6 sore. Bersiap dengan kamera digital yang selalu setia menemani setiap kali saya ingin memotret.


Tentunya ada harga yang harus di bayar. Saya harus berjalan kaki dari BTM hingga ke Siliwangi karena jalanan sudah di tutup waktu saya tiba pada jam empat sore. Lalu harus menabahkan diri berdiri berjam-jam. Untungnya gereja menyediakan makanan-minuman sehingga sebelumnya saya sudah mengisi perut sekenyang-kenyangnya dan lari ke wc untuk pipis supaya aktivitas memotret dan menonton perayaan Cap Go Meh tidak akan terganggu dengan urusan-urusan perut lapar, haus atau kebelet pipis.

Bahkan angin gunung yang lumayan dingin dan bertiup cukup kencang pun tidak bisa melunturkan semangat saya. Pawai kendaraan berhias, pertunjukan liong dan barongsai dengan arak-arakan penari, pembawa lampion, berikut suara musik brang bring brongnya, lalu entah apa lagi yang berseliweran di sepanjang jalan itu betul-betul menghangatkan malam.


Saya sangat menikmati malam itu. Bukan hanya karena saya mendapat objek untuk menjadi sasaran jepretan kamera saya tapi juga karena saya melihat warisan budaya yang ditinggalkan moyang saya di negeri ini.

Sementara berjalan menuju tempat parkir mobil milik suami koster gereja kami yang akan membawa kami pulang pada jam 11 malam itu, saya berpikir tentang warisan budaya ini. Merenungkan tentang bagaimana warisan itu melekat di hati dan hidup keturunan selanjutnya.


Adakah kita sendiri juga meninggalkan jejak-jejak di dalam kehidupan orang-orang di sekitar kita? Atau di tempat di mana kita berada?


Saya hanya ingin diri saya menjadi seperti lilin yang menyala terang di dalam kegelapan. Itulah jejak warisan yang ingin dapat saya tinggalkan dalam diri orang-orang di sekitar saya terutama murid-murid saya.
____________________________________________________________


Something that will stay within you eternally is what your ancestor left you. It is in your blood. You can deny its presence but you can never remove it off yourself.

My parents were raised in two different cultures. My mother is very much under influence of the Dutch while my father, whose father is a Chinese, understandably raised in Chinese culture.


 Chinese, Dutch and the beloved Indonesian cultures leaving prints in me. Not to mention so many of Indonesian ethnic cultures have also enriched me. Later I met, worked and make friends with people from around the world. Each of them introduce me to their culture and so I consider myself lucky to have known them.

People jammed the street since 4 pm
Rare opportunity came to me to watch Cap Go Meh parade last Monday, 6th February 2012. My first time to watch this annual parade that always held in Sukasari Street of my hometown, Bogor, West Java.

“Your great grandfather, my grandfather, came from China” my ever over protected father supported my wish to go there after work to see the parade though it means I would stay probably until nearly midnight “It’s time for you to get to know your root”.

So off I went with high excitement to my central church that located exactly in that street. I would be so much safe and comfortable watching the parade from there.

I chose a strategic spot up on the church gate since 6 pm. Ready with my digital camera. Waited there for more than an hour with other church congregation and church employees and the mass that crowding the street.

There was a price I must pay for this of course. I had to walk probably 2 kilometers to get to the church because the street has been closed since 3 pm. Then I had to stand infront of church gate for more than an hour before the parade started at 7 pm. So very glad that  church served snacks. I have stuffed myself with the snacks and drink plus had also went to the loo so I knew I wouldn’t be bothered by empty stomach or nature’s call in long hours. 

Even the freezing mountain wind didn’t bother me at all. The parade, the colourful costumes, the dancer, the lanterns, the noisy music have warmed up the night.


I really had a great time. Not only because I could take lots of photos but because I had a chance to see what my ancestor has left in this country in the term of its cultural heritance.


As we walked to the place where my church’s cleaning lady’s husband parked his car I thought of Chinese legacy that is very much alive and preserved in this country. Passing from one generation to the next one. Its marks are so visible.

Have we left our marks in the life of the people around us? Or in the place where we are living now?

I just want to be like a burning candle that lights the darkness. That is my legacy in the people around me, especially my students.



Monday, February 27, 2012

Les (Bagian Terakhir) / Tutoring (The Final)

Kebahagiaan, Kepuasan dan Kebanggaan Sejati / True Happiness, Satisfaction and Pride


Coba katakan kepada saya apa yang kita cari saat bekerja? Uang, status, jabatan, prestise, keterjaminan atau kepuasan?

“Lebih enak di sini dong” komentar yang kurang lebih sama itu sudah beberapa kali saya dengar setelah orang mengetahui latar belakang pendidikan saya. Komentar yang sempat membuat saya tercenung. Setengah kaget. Setengah tersinggung.

Benarkah karena saya sekarang kembali ke dunia kantoran maka saya kembali ke ‘alam’ yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya? Lalu selama 6 tahun bekerja sebagai guru itu di anggap sebagai selingan karena bosan dengan dunia bisnis? Atau lebih baik dari pada tidak ada kerjaan?

Agustus 1993 saya lulus dari Perbanas. Februari 1994 wisuda. Maret 1994 mendapat pekerjaan pertama di PT. Indosat.


Saya terbirit-birit menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi karena mengetahui semakin lama saya bercokol di sana, semakin berat juga biayanya. Untuk kuliah saja kami harus menjual mobil. Karena itu saya terlecut untuk menyelesaikan pendidikan saya secepat mungkin sehingga dapat kelar dalam waktu 2 ½ tahun dari jatah 3 tahun program D3 yang saya ambil.

Semuanya bergulir cepat. Dari PT. Indosat meloncat lagi ke perusahaan lain, lalu berpindah ke perusahaan berikutnya sampai akhirnya 10 tahun lewat tak terasa. Sekian banyak perusahaan. Semakin banyak pengalaman dan keahlian yang saya dapatkan. Tidak menjadi kaya raya tapi juga tidak berada di bawah garis kemiskinan.

Lalu puas dan banggakah saya dengan semua pencapaian itu?

Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikan rasa puas dan bangga yang saya rasakan pada waktu itu. Tapi bertahun-tahun kemudian saya merasa saya menipu diri saya sendiri dengan suatu rasa puas dan kebanggaan yang palsu.

Tahukah anda bahwa kepuasan dan kebanggaan sejati adalah pada waktu anda melihat orang lain bisa menjadi lebih baik, berkembang dan berkarya semaksimal mungkin. Ketika orang yang tadinya terpuruk dapat bangkit dan melangkah dengan kokoh. Ketika seseorang yang merasa tidak berdaya, tidak diinginkan, gagal dan putus asa bisa kembali bersinar.


Dan anda menjadi bagian dari proses yang merubah orang itu bangkit kembali, berubah dan berkembang menjadi lebih baik.

Tahukah anda bahwa pada waktu anda berhenti memikirkan diri sendiri maka anda akan mendapatkan kepuasan dan kebanggaan sejati itu?

Tahukah anda bahwa justru ketika anda menyingkirkan problema pribadi, tuntutan ego dan ambisi yang menguasai hati, pikiran dan kehidupan anda maka kepuasan dan kebanggaan sejati itu bisa anda raih.

Menjadi guru membuat saya terlepas dari diri saya sendiri. Saya tidak perlu membuat orang atau diri sendiri terkesan dengan kemampuan dan keunggulan yang saya miliki. Tidak mengejar pujian. Tidak lagi menghitung untung rugi. Kenapa demikian? Karena yang ada di kepala, hati dan doa saya cuma satu yaitu bagaimana saya bisa membuat anak-anak didik saya menjadi pribadi yang bertumbuh dan berkembang ke arah positif. 


Dan ketika saya melihat mereka bisa mencapainya maka bukan hanya kepuasan serta kebanggaan sejati yang saya rasakan tapi kebahagiaan sejati.

Lucunya ketika saya tidak lagi berfokus pada diri sendiri, justru semua yang dulu saya cari, yang saya dambakan dan yang saya butuhkan datang tanpa harus saya bersusah payah. Apa sajakah itu? Penghormatan, kekaguman, dukungan dan kekayaan dari orang-orang di sekitar saya.

Menjadi guru bagi saya berarti lebih dari sekedar pekerjaan. Menjadi guru bagi saya berarti adalah menghilangkan diri saya sendiri dan melepaskan segala egoisme, melupakan semua itu, menganggap semuanya kalah penting dari anak-anak yang dipercayakan kepada saya untuk saya bentuk, saya perbaiki, saya didik, saya latih dan saya persiapkan dengan seluruh ketulusan dan kemurnian cinta kasih di dalam diri saya.

Anda tidak perlu menjadi guru untuk bisa merasakan atau mendapatkan apa yang saya rasakan dan dapatkan.

Anda hanya perlu melepaskan diri, menghilangkan diri anda, melupakan semua yang anda kejar atau inginkan karena ada orang-orang lain yang bernilai lebih tinggi dari semua tuntutan ego anda. Dan bila anda telah dapat melakukannya, terimalah kebahagiaan, kepuasan dan kebanggaan sejati itu.
__________________________________________________



Tell me, what do people seek from their jobs? Money, status, prestige, security or satisfaction?

“You must be like it here better than your previous work place” I have heard comments like this several times once they knew about my educational background which definitely does not matched with my previous work as kindergarten teacher. But it always make me stop to think. Surprise. A little offended.

Is it because I now have an office job it means I am in the right place? Because it matches with my educational background? So my six years working as a teacher would be considered as a break from office job? Or it would be better than being unemployed?

I passed my thesis test in August 1993. I had my graduation ceremony in February 1994. A month later I had my first job in Indonesian telecommunication company.


I did not stay too long in college because it was not a cheap one. We had to sell our car to pay for my college education. So I had it done in 2 ½ year out of the 3 years program.

Everything went so fast after that. I had worked in many different jobs in 10 years. I had many  achievements. I had gotten lots of experience and skill. Financially well off. 

Did I feel satisfy and take pride in all of those things?

I don’t know how to define my feelings of satisfaction and pride at that time but looking back at those days made me realize that I had fooled myself to think that I felt satisfy and proud for those things.

Do you know that true satisfaction and pride comes when you see anyone who is considered underdog, unwanted, neglected, despaired, can develop, improve, shine, able to stand up and walk with new strength. Can live his / her life the fullest. And you are involved in the process of making it happen.

Do you know when you stop thinking about yourself then you can get that true satisfaction and pride?

Do you know that when you cast your problems, egos and ambitions aside then you will be able to get that true satisfaction and pride?

Being a teacher makes me able to get out of myself. I don’t have to make other people or myself impressed by my superiority, talents or achievements. No longer starved for praise. No more lose-gain measurement.  How can this happen? Simple. I focus on my students. How can I make them improve and happy are the things that is in my heart, mind and prayers.


And when I see them becoming better people, better in characters and personalities, can achieve more, live their life the fullest and becoming so much happier, let me tell ya something, it is not only that true satisfaction and pride that I get but also and foremost is true happiness.

Funny thing is when I don’t focus on myself, I start to have receive all the things I sought which consist of respect, honor, admiration, support and riches from the people around me.

So teaching is not just a job. It sets me free from myself. Making me less ego maniac and turns me into a better person because I no longer put all of my attention toward myself, my work or my life.


You don’t have to become or work as a teacher to achieve it too.

All you need to do is forget yourself. Make yourself diseappear. Set yourself free from your demanding ambition or ego because there are lots of people more worthy than those things to be thinking of, to be fighting for and to be helped.

Only after you cast yourself away that you will get the true happiness, satisfaction and pride.


Sunday, February 26, 2012

Les (Bagian ke Empat) / Tutoring (Part Four)

Makanan Secukupnya / Daily Bread

“… berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya..” adalah sepenggal dari doa Bapa Kami yang berbicara tentang kemampuan Tuhan untuk memeliharakan umatNya.

Saya tidak datang dari latar belakang keluarga berekonomi kuat. Kami memang tidak pernah kekurangan. Kami masih tetap bisa makan tiga kali sehari. Daging dan susu bisa dipastikan selalu ada di rumah.

Walaupun pernah juga ada masanya di mana kami mengalami keadaan sangat prihatin sampai nyaris di malam natal kami harus merayakannya dengan hidangan sayur daun pepaya kalau tidak ada kiriman makanan dan kue dari kenalan kami.

Pendapatan saya memang berfluktuasi. Di tahun 1995 saya pernah bergaji hampir sejuta. Lalu tahun 1997 gaji saya hampir tiga juta. Dengan gaji sebesar itu kehidupan saya dan orang tua saya lumayan makmur mengingat nilai rupiah masih kuat dan harga-harga tidak segila sebelum terjadi krismon.

Tapi datanglah masa-masa di mana saya harus bekerja dengan upah jauh di bawah UMR di jaman setelah krismon. Terutama ketika menjadi guru TK. Gaji awal saya 300 ribu. Naik 50 ribu setiap tahun. THR hanya separuh dari jumlah gaji sebulan.

Menafkahi diri sendiri saja sulit dengan gaji seminim itu apa lagi kalau harus menghidupi orang lain. Padahal sejak tahun 1996 penghasilan keluarga kami hanyalah lewat gaji saya. Orang tua saya tidak berwiraswasta, tidak punya deposito, bukan pemain saham atau berinvenstasi dalam bentuk mata uang asing atau emas.

Mereka punya bakat tapi tidak menjadikan bakat-bakat itu sebagai alat untuk mencari uang. Kecuali dulu ketika masih muda ibu saya pernah bekerja sebagai guru les di luar pekerjaannya mengajar di SMA dan ayah saya rajin mengobyek. Tapi dengan bertambahnya umur, mereka hanya mengandalkan gaji. Apa mau ternyata tempat kerja mereka tidak memberikan pensiun. Jadilah mereka menggantungkan hidup pada anak satu-satunya.

Setelah menjadi guru barulah saya mengalami harus bekerja dobel. Saya mengajar les. Di luar itu saya tidak punya minat untuk berwiraswasta. Bakat dan kemampuan saya ada di bidang kerja kantoran, mengajar, menulis dan fotografi. Tapi bidang tulis menulis dan fotografi belum menghasilkan uang untuk saya sehingga saya mengukurnya hanya sebagai hobi.

Penghasilan saya sekarang ini sebagai tenaga administrasi gereja memang dua kali lipat lebih besar dari gaji saya sebagai guru TK. Tapi itu pun belum menjamin kecukupan sehingga saya masih tetap mencari penghasilan sampingan yaitu dengan mengajar les.

Namun mengajar les tidak semata-mata saya lakukan untuk menambah penghasilan. Mengajar sudah menjadi panggilan jiwa. Menyatu dengan darah saya. Uang memang saya butuhkan tapi kalau sudah sampai ke perkara mengajar, bukan uang yang selamanya saya kejar.

Dalam bayangan saya saat ini adalah saya bekerja di bidang non pendidikan untuk mendapatkan cukup dana untuk membangun sebuah sekolah sehingga saya bisa bekerja di luar bidang pendidikan tapi masih tetap bisa mengajar di sekolah.

Itulah cita-cita. Impian. Harapan. Doa. Hanya perkara waktu saja…
____________________________________________________________

“… and give us this day our daily bread…” is part of the prayer taught by Jesus to His diciples that shown He provides our daily necessities.


I come from working class. We never loaded but never lacked either. We can still eat three times a day. Meat and milk are always stacked in the house. 

There were hardship though such as when we had nothing except papaya leaf soup for our meal in Christmas eve if a friend of ours didn’t send us decent meal and cakes.

My income fluctuated over the years. In 1995 I made nearly a million a month. In 1997 my salary was nearly three millions a month. It was enough to make me and my parents lived quite well off considering our country’s currency was strong and living cost was not as high as after the economic crisis that hit asia in 1998.

PT. Indosat - 1995
But came the time when I had to be in a job that pays so below the minimum wage. Especially when I worked as kindergarten teacher. My starting salary was 300 thousand a month or equall with 30 dollars. With only 50 thousand raise a year. Received 150 thousand as yearly bonus given at Christmas where as it should be paid one month salary in full amount.

It is hard to make ends meet for myself. The fact is I have worked to feed my parents as well since 1996. My parents are not self made people. They don’t have money deposits in the bank, nor have investment in stock, bond, currency or gold.

They do have talents but they just don’t use them to make money. Except when they were young like my mother who tutored apart from her teaching job in high school or my father did many side jobs. But as they grew older they relied only on their salary and unfortunately their work didn’t give retirement pension or compensation. So they clinging on me.

After I worked as kindergarten teacher did I have the experience of had to do double jobs or I wouldn’t make ends meet. My skills and talents that I can rely to make money is my office skills, teaching, writing and photography. But seeing that I have not able to make money from writing and photograpy make me put them just as hobbies.

My job as church administrator pays double than my kindergarten salary but it still is not enough to make ends meet so I am doing tutoring. Though when it comes to teaching I am not always doing it for money. I do need the money but teaching for me is a call, it is in my blood so teaching has immaterial value.


The scenario in my head is me doing office job to get the money to build a school and so I can own and teach in my own school.

It is a dream. Wish. Life goal. Prayer. It is only a matter of time..

Thursday, February 9, 2012

Les (Bagian Ketiga) / Tutoring (Part Three)

Peranan Orangtua / Parents Contribution

Diri kita masing-masing adalah hasil bentukan dari orangtua kita.

Apakah kita menjadi orang-orang yang adil, murah hati, pemarah, tepat waktu, cuekan, pemaaf, tinggi hati, ulet, perokok, fleksibel, pelaku kekerasan fisik atau emosional dan banyak kebiasaan atau perilaku lainnya adalah hasil dari apa yang kita dapatkan dari orangtua secara sengaja atau tidak sengaja.

Ada hal-hal yang memang secara sengaja diajarkan, dibiasakan dan ditanamkan oleh orangtua kita. Tapi ada juga hal-hal yang tidak akan pernah mereka ajarkan, biasakan atau tanamkan kepada kita tapi terbukti hal-hal tersebut mendarahdaging juga dalam diri kita. Yang terakhir ini adalah sikap, perilaku, kebiasaan dan kepribadian seseorang yang bisa ditularkan tanpa sengaja kepada orang lain.

Jadi berbanggalah saat melihat anak anda bersikap murah hati kepada sesamanya karena itu adalah bagian dari sifat anda yang dilihatnya dan kemudian masuk tertanam ke dalam dirinya pula.

Tapi jangan terburu-buru memaki anak anda yang berperilaku negatif karena siapa tahu perilaku itu ditirunya dari anda sendiri atau sesuatu dalam sifat, kebiasaan atau kepribadian anda menciptakan sikon yang membuat anak mengembangkan sikap atau kebiasaan negatif tadi.

Saya sudah beberapa kali mendapati fakta bahwa anak-anak yang tidak percaya diri yang ternyata memiliki ayah atau ibu yang dominan, kritis, terlalu menuntut atau perfeksionis. Hal-hal dalam sifat atau kepribadian orangtua ini bukannya membuat anak tahan banting atau terpacu untuk berusaha dan mencapai prestasi baik tapi justru kebalikannya. Anak menjadi tertekan, takut, kehilangan arah, tidak percaya diri.


Seorang guru kadang kala harus berperan sebagai orangtua kedua bagi murid-muridnya. Karena naluri manusia adalah mencari figur yang bisa dijadikannya panutan atau pegangan saat orang-orang disekitarnya dirasakannya tidak dapat berperan seperti itu.

Jadi kalau ada orang yang tidak tahu bahwa saya masih melajang dan belum memiliki anak bertanya berapa jumlah anak saya maka sambil tersenyum saya menjawab hampir seratus. Saya tidak sedang bergurau. Anak kan tidak selalu harus yang keluar dari rahim sendiri. Di tambah dengan kenyataan bahwa guru adalah orangtua kedua bagi murid-muridnya maka tepatlah kalau saya mengatakan bahwa saya memiliki hampir seratus anak. Hehe.

Karena sejujurnya saya memang sangat menyayangi setiap anak didik saya bagai anak sendiri.


Tapi perkara menjadi orangtua kedua ini sempat menjadi hal yang membuat mabok saya ketika ada orangtua murid les saya yang tanpa minta ijin meninggalkan anaknya sampai lebih dari 2 jam di rumah saya.

Rupanya orangtua ini punya keperluan tapi tidak bicara kepada saya bahwa mereka mungkin akan datang terlambat untuk menjemput anak mereka dari rumah saya setelah selesai les. Bahkan juga tidak memberi penjelasan apa pun setelah saya sms atau telpon.

Aduh mak! Saya kesal bukan main pada waktu itu karena hari itu saya capek setengah mati. Tentu saja saya tidak bisa meninggalkan anak itu untuk pergi tidur karena selama anak itu berada di bawah atap yang sama dengan saya maka berarti saya bertanggungjawab sepenuhnya atas dirinya.

Dan hal seperti itu terulang lagi sampai dua kali.

Saya tidak bermaksud menghakimi, tapi ada tipe-tipe tertentu yang menggampangkan hal-hal yang sebetulnya tidak boleh digampangin. Saya bertemu dengan tipe orang yang mungkin berpikir karena si anak dan saya menjalin hubungan erat maka tentunya saya tidak akan keberatan ‘dititipi’ si anak 1-2 jam setelah jam les selesai tanpa pemberitahuan di muka tanpa memperhitungkan bahwa ada kemungkinan saya sedang dalam keadaan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga yang belum selesai atau harus mengajar les lagi atau fisiknya sedang tidak fit, mengantuk atau sangat capek.

Lain lagi ceritanya dengan seorang ibu dari anak les saya.  Sebelum ini saya mengajar les di dua tempat. Satu di rumah dan yang lain di tempat les milik seorang kenalan saya.  Nah, anak dari ibu ini mengambil les membaca pada saya di tempat les. 

Setelah dua bulan les dan melihat kemampuan membaca anak ini meningkat cukup pesat maka saya memutuskan untuk tidak memperpanjang lesnya. Jadi saya pun menulis sebuah surat untuk menjelaskannya karena di rumah si anak tidak ada telpon, yang punya hp hanya ayahnya yang menurut saya tidak tepat kalau dia yang saya hubungi karena ibunyalah yang pertama kali mengantarkan anak itu les dan alasan terakhir adalah karena saya tidak punya waktu untuk mampir ke rumah si anak. 


Tidak ada respon apa pun dari ibu itu padahal saya mencantumkan nomor hp dan telpon rumah di surat itu dengan perkiraan ada kemungkinan dia akan menghubungi saya. Ternyata tidak sama sekali. Bahkan tidak ada surat / note balasan dari ibu ini waktu saya bertemu dengan si anak di sesi les kami yang terakhir. Tidak ada titipan omongan apa pun dari dia. Sampai saya tanya ke anak itu apa surat saya sudah disampaikan ke ibunya. Jawabnya sudah. Bahkan dari omongan si anak, saya berkesimpulan surat itu mereka baca bersama-sama. Tapi toh, tidak ada tanggapan dari si ibu untuk disampaikan kepada saya. 

Terheran-heran juga saya dibuatnya karena baru sekali itu saya bertemu dengan orang tua murid yang tidak memberikan pertanyaan atau respon menanggapi pemberitahuan bahwa saya menghentikan les anaknya dan laporan saya mengenai kemajuan membaca anak itu. Sama sekali tidak ada reaksi. Luar biasa juga ya... Hehe.

So suka duka mengajar tidak hanya terbatas pada anak didik tapi juga pada orangtua mereka. Hehe.
_______________________________________________________________________



Our parents formed us.

They have their contribution either intentionaly or unintentionaly on shaping or forming us as a person we are today. Are we fair people, compassionate, short tempered, punctual, forgiving, snobbish, easy going, smoker, abusive, persistant and many other habits or characters that our parents have formed or instilled in us.

But there are other things which we picked up from the people around us and in time became our own habit or character.

So be glad if you see your kid imitates your positive habit or character. But don’t yell at him or her when you see his or her annoying habit or behavior. He or she may have picked it up from your own habit or behavior.

But fact shown how your habit or character might have created situation that made your child develops certain kind of attitude which in time would become the kid’s habit or character.

Many low self esteem kids have dominating or demanding parent(s). Father’s or mother’s (or both of them) characters have proven to play big effect in forming their kid(s) characters. Sometimes parents thought (and believe) what makes them tough may work the same for their kids. But it does not work like that to all kids. Some feel depressed, lost their way, feeling like a looser for unable to reach their parents’s standard or expectation.


A teacher sometimes must act like a substitute parent because it is human’s instinct to seek for a role model. Someone or some people whom we can trust, depend and look upon.


Therefore if I’m asked about how many kids do I have, my answer would be like this ‘oh, I have more than 100 kids’. I am not kidding. Definition of a kid is not limited to the one born from one’s womb, right? Plus being a teacher means I must also act like a substitute parent then it is right when I said I have more than 100 kids. And I love them all.


But this ‘substitute’ parent thing had once brought headache to me when parents of one of my tutoring kids left their son at my house for 2 hours after the tutoring. The boy’s mother takes the kid to my house and picks him up an hour later after the tutoring. But it happened 3 times that she or the father showed up nearly or even more than 2 hours later.


I don’t mind to have any kid stays in my house if the parent(s) have things that make him / her unable to pick up the kid on time. But they should inform me about it. The kid's parents however, didn't say a thing about them coming late to pick up their son. They still didn't say a word even after I texted and called. 


This terribly upset me because I actually feeling very exhausted that day but I couldn't rest as long as I had that kid under my roof because I  responsibility.


I don't mean to judge anyone but there are type of people who just take things easy. It should not be applied to every matter or every situation. It seems that because they saw the kid and I have close bond they assumed I wouldn't mind to have him in my house for 1-2 hours without prior notice nor consideration that I probably was tired, didn't feel well or had things to take care in the house after the tutoring hour. 


I have another of quite an experience with the mother of my tutoring student. I tutor not only at home but also in a friend's tutoring place. So a kid was enrolled in reading tutoring and after 2 months his reading skill is improved quite good so I decided that he did not need tutoring anymore. Therefore I wrote his mother a letter to inform and explain why I decided to stop his kid's tutoring. 


I chose to write a letter because they don't have any phone at home and I did not feel comfortable to call the kid's father (he is the only one who has a cellphone) since I never met him and felt more proper to contact the mother because she was the one who took the kid to meet me from the first session of our tutoring and last reason is because I had no time to stop by at the kid's house.


I never got any response from the mother. No letter or short memo. No call though I had written my cellphone number and my home phone number in that letter. No message given to me through the kid. I asked if the kid has given my letter to his mother and he said he did. They even seemed to have read it together. But there was no response at all. 


I thought it was quite odd because normally people would ask questions, give comment or just say thank you after receiving such letter. But none. 



So you think it's just educating the kids? Well, some parents need that too.